"Dia diam, tak menjawab sedikitpun. Tak bergerak. Hanya perutnya saja yang naik turun menandakan dia masih bernapas. Matanya masih saja kosong."
***
Ramai orang mengelilingi sesosok yang sekarang tengah terbaring di tengah-tengah ruangan. Mulutnya yang dulu terkenal ramah dan sering tertawa bahagia itu kini terkatup dengan rapat. Mata tegas sekaligus ramah yang dulu sering membaca koran saat sore hari itu kini tertutup. Hidung yang ditumbuhi kumis beruban dibawahnya sekarang sudah berhenti menghirup dan menghembuskan nafas. Untuk selamanya.
Semua orang tertunduk, sambil membaca surat Yaa Sin dan memanjatkan doa untuk tubuh yang terbujur kaku dibalut kain berwarna putih itu. Beberapa meneteskan air mata, satu orang di sampingku sekarang tengah menangis sesenggukan sambil mengucapkan kata-kata penyesalan yang tidak terlalu jelas untuk ku dengar. Yang aku tahu, dia tak pernah berhenti mengucapkan “Mama sayang Papa”.
Aku sedaritadi hanya bisa menenangkannya, mengusap bahunya pelan dan merengkuhnya dalam peluk paling pengertian yang aku bisa. Sesekali aku mengucapkan, “sabar, Ma.” Atau “Mama yang kuat”.
Tai.
Aku sedaritadi mencoba menguatkannya, tapi nyatanya air mataku sendiri tak pernah berhenti untuk mengalir. Hatiku masih terpukul akan segala hal yang terjadi. Padahal baru kemarin, orang yang aku sebut Papa ini bercanda gurau denganku tapi pukul 12 siang tadi aku dapat kabar dia sudah masuk rumah sakit karena serangan jantung sampai satu jam kemudian dia dinyatakan gagal melewati masa kritisnya, dan yah, tidak terselamatkan.
“Oh iya, Hera mana Ma?” tanyaku setelah Mama sedikit tenang.
“Ada di kamarnya, Cha. Dia nggak mau keluar,” jawab Mama di sela isak tangisnya. “Kamu, tolong bujuk dia ya buat keluar.”
“Iya, Ma.”
Aku lalu bangkit, menuju ke kamar yang dimaksud Mama. Kamar yang ditutupi tirai kerang yang berbunyi setiap kita sibakkan. Tak perlu mengetuk pintu, aku langsung memutar knop dan masuk ke dalamnya lalu menutup pintu lagi.
Di atas kasur terdapat seorang perempuan yang sebaya denganku. Dia tengah terduduk menghadap ke luar jendela sambil memeluk lututnya sendiri. Kerudung hitam masih menutupi kepala hingga dadanya dengan rapi. Ku hampiri dia, “Ra, kamu nggak mau keluar? Kasihan Mama kamu nangis terus dari tadi.”
Hera hanya menggeleng. Tatapan matanya kosong dengan sedikit jejak air mata di pipinya. Aku tahu, jejak itu membekas jauh lebih dalam di hatinya.
“Kenapa, Ra?”
Dia diam, tak menjawab sedikitpun. Tak bergerak. Hanya perutnya saja yang naik turun menandakan dia masih bernapas. Matanya masih saja kosong.
Aku rengkuh dia dalam pelukan paling pengertian yang aku bisa, aku usap bahunya sebagaimana yang aku lakukan pada Mama tadi. “Menangislah kalau kamu mau, Ra. Tapi janji, setelah ini kita akan keluar dan sama-sama ngerangkul Mama kamu.”
Aku dan dia diam dalam posisi begitu untuk beberapa waktu sampai lengan bajuku terasa sedikit basah dan tanganku yang memegang bahunya terguncang pelan. Aku tak berbicara apa-apa, hanya membiarkan dia menangis sepuasnya.
Aku tau lukanya sangat dalam, hingga hanya dia yang bisa paham. Aku tau hatinya menangis lebih kencang daripada matanya sekarang. Aku tau batinnya jauh lebih terguncang daripada bahunya sekarang. Tapi aku juga tau, dia akan lebih kuat setelah ini.
“Papa kamu orang yang baik kok, Ra. Saking baiknya, mau-mau aja nganggep aku yang nggak waras ini kayak anaknya sendiri. Setelah ini, tenang aja, kamu masih punya Ayahku kok.”
Dia menatapku sejenak lalu mengangguk pelan sambil tersenyum. “Aku beruntung punya sahabat kayak kamu, Cha.”
Aku hanya tersenyum simpul sambil menatap ke luar jendela, tepatnya ke arah sebuah ayunan yang biasanya aku gunakan untuk bermain bersama Hera dan papanya saat aku berkunjung ke sini.
“Keluar, yuk. Kasian Mama kamu sendirian.”
-THE END-